Minggu, 05 Januari 2020

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)

Post oleh : AnugerahMahanda | Rilis : Januari 05, 2020 | Series :
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
Hasil gambar untuk uu ite

Istilah dalam Undang-Undang 

  1. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
  2. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
  3. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi.
  4. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
  5. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik.
  6. Penyelenggaraan Sistem Elektronik adalah pemanfaatan Sistem Elektronik oleh penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat.
  7. Jaringan Sistem Elektronik adalah terhubungnya dua Sistem Elektronik atau lebih, yang bersifat tertutup ataupun terbuka.
  8. Agen Elektronik adalah perangkat dari suatu Sistem Elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu Informasi Elektronik tertentu secara otomatis yang diselenggarakan oleh Orang.
  9. Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam Transaksi Elektronik yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik.
  10. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik adalah badan hukum yang berfungsi sebagai pihak yang layak dipercaya, yang memberikan dan mengaudit Sertifikat Elektronik.
  11. Lembaga Sertifikasi Keandalan adalah lembaga independen yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan, dan diawasi oleh Pemerintah dengan kewenangan mengaudit dan mengeluarkan sertifikat keandalan dalam Transaksi Elektronik.
  12. Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
  13. Penanda Tangan adalah subjek hukum yang terasosiasikan atau terkait dengan Tanda Tangan Elektronik.
  14. Komputer adalah alat untuk memproses data elektronik, magnetik, optik, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmetika, dan penyimpanan.
  15. Akses adalah kegiatan melakukan interaksi dengan Sistem Elektronik yang berdiri sendiri atau dalam jaringan.
  16. Kode Akses adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya atau kombinasi di antaranya, yang merupakan kunci untuk dapat mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik lainnya.
  17. Kontrak Elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui Sistem Elektronik.
  18. Pengirim adalah subjek hukum yang mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
  19. Penerima adalah subjek hukum yang menerima Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dari Pengirim.
  20. Nama Domain adalah alamat internet penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat, yang dapat digunakan dalam berkomunikasi melalui internet, yang berupa kode atau susunan karakter yang bersifat unik untuk menunjukkan lokasi tertentu dalam internet.
  21. Orang adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum.
  22. Badan Usaha adalah perusahaan perseorangan atau perusahaan persekutuan, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
  23. Pemerintah adalah Menteri atau pejabat lainnya yang ditunjuk oleh Presiden.

Gugatan ke Mahkamah Konstitusi

1. Pencemaran Nama Baik

Pasal Pencemaran nama baik paling sering digugat ke MK. Terdapat dua kasus diawal UU ITE, yaitu PUTUSAN Nomor 50/PUU-VI/2008 dan Putusan Nomor 2/PUU-VII/2009. Dalam putusan tersebut, MK menolak permohonan pemohon bahwa Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Bahwa menurut Mahkamah, penghinaan yang diatur dalam KUHP (penghinaan offline) tidak dapat menjangkau delik penghinaan dan pencemaran nama baik yang dilakukan di dunia siber (penghinaan online) karena ada unsur “di muka umum”. Dapatkah perkataan unsur “diketahui umum”, “di muka umum”, dan “disiarkan” dalam Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP mencakup ekspresi dunia maya? Memasukkan dunia maya ke dalam pengertian “diketahui umum”, “di muka umum”, dan “disiarkan” sebagaimana dalam KUHP, secara harfiah kurang memadai, sehingga diperlukan rumusan khusus yang bersifat ekstensif yaitu kata “mendistribusikan” dan/atau “mentransmisikan” dan/atau “membuat dapat diakses”.[9]

2. Penghinaan SARA

Mahkamah Konstitusi (MK) juga menolak permohonan Judicial Review (uji materi) yang diajukan oleh pengacara Farhat Abbas. Farhat melakukan permohonan uji materi terhadap UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena terkena Pasal 28 ayat (2) gara-gara membuat pernyataan di media sosial twitter yang mengandung unsur penghinaan terhadap suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) terhadap Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Farhat dilaporkan ke Polda Metro tanggal 10 Januari 2013 oleh Persatuan Islam Tionghoa Indonesia. "MK menilai penyebaran informasi yang dilakukan dengan maksud menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan bertentangan dengan jaminan pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan individu. Dan bertentangan pula dengan tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum," jelas Arief, Hakim Konstitusi. Polisi akhirnya tidak meneruskan laporan kasus ini karena laporan telah dicabut dan Farhat telah berdamai.[10]

3. Tata Cara Intersepsi

Terkait RPP Penyadapan, Meskipun Mahkamah Agung menganggap hal itu sah karena tidak bertentangan dengan UU[11], Mahkamah Kostitusi mengabulkan uji materi pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dengan begitu, Rancangan Peraturan Pemerintah Penyadapan, yang mengacu pada pasal itu, tidak bisa disahkan. "Mengabulkan permohonan untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Konstitusi Mahfud MD saat membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis 24 Februari 2011. Majelis menyatakan pasal itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dalam pertimbangannya, majelis berpendapat, penyadapan harus diatur oleh Undang-Undang.[12]

4. Bukti Elektronis

Terbaru, dalam skandal "Papa Minta Saham" tahun atau Kasus PT Freeport Indonesia 2015 membuat Mantan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto mengajukan permohonan uji materi atas Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta Undang Undang KPK. “Pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE,” ujar kuasa hukum Novanto, Syaefullah Hamid, di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, seperti dikutip dari Antara, Kamis (25 Februari 2016). Adapun dua ketentuan tersebut mengatur bahwa informasi atau dokumen elektronik merupakan salah satu alat bukti dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan yang sah. Novanto juga merasa dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 26A UU KPK terkait alat bukti elektronik yang sah. Novanto menilai bahwa ketentuan-ketentuan tersebut tidak mengatur secara tegas mengatur tentang alat bukti yang sah, serta siapa yang memiliki wewenang untuk melakukan perekaman.[13] "Perekaman yang dilakukan secara tidak sah (ilegal) atau tanpa izin orang yang berbicara dalam rekaman, atau dilakukan secara diam-diam tanpa diketahui pihak yang terlibat dalam pembicaraan secara jelas melanggar hak privasi dari orang yang pembicaraanya direkam," kata dia. Sehingga, bukti rekaman itu tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti karena diperoleh secara ilegal. Majelis hakim Ketua MK Arief Hidayat pun memberikan saran perbaikan permohonan, sebab tidak ada kedudukan hukum pemohon sebagai anggota DPR.

google+

linkedin